Saturday, March 21, 2009

KOMUNIKASI DUA ARAH

Komunikasi adalah sebuah hal yang penuh makna. Tentunya bila komunikasi itu mampu mengungkap secara optimal segala curahan hati, pokok pemikiran, dan ungkapan kasih atau benci, dari pihak-pihak yang saling berkomunikasi.

Lebih-lebih komunikasi yang terjadi antara ibu dan anak. Keduanya adalah pihak yang sudah terikat cinta kasih secara fitrah. Cinta kasih itu bahkan menjadi ‘sejati’, saat sudah dibaluri nilai-nilai Islami. Target cinta kasih itu menjadi sosok yang jelas, yakni menggapai keridhaan Allah.

Masalah adalah masing-masing pihak kerap kalil berbicara dengan bahasa yang unik, sesuai dengan wawasan dan perkembangan intelektualitasnya. Terkadang, antara ibu dan anak mengomunikasikan cinta kasih dengan cara yang berbeda. Masing-masing juga punya cara spesifik untuk membuat lelucon, canda, atau basa-basi, yang seringkali dipahami berbeda oleh pihak lain.

Saat anak masih kecill, mungkin pihak orang tua yang lebih banyak mengalah, terutama ketika seorang anak merasa ‘dicuekin’, akibat permintaannya sulit ditangkap oleh sang ibu. Sang ibu yang harus bekerja keras memeras otak untuk memahami bahasa si anak. Saat anak sudah beranjak dewasa, di mana tingkat kepekaannya meningkat, daya nalarnya juga bertambah kuat, sementara tingkat kestabilan emosinya masih kurang, pola berpikir dan wawasannya mulai membentuk, terjadilah egoisme yang menyebabkan terganggunya komunikasi vertical antara kedua belah pihak.

Sang ibu memang sudah selayaknya bersabar, dan pada umumnya seorang ibu memang sudah dibekali peranti kesabaran yang luar biasa. Namun seringkali seorang anak masih merasa kurang. Segala bentuk keinginannya dan arah pikirannya selalu ingin ditampilkannya secara sempurna, dan dapat ditangkap dan dipahami secara sempurna pula. Lebih dari itu, ia tidak ingin realisasi pemikirannya mengalami hambatan, dikritik atau bahkan dihujat. Terutama, di saat ia membutuhkan ‘pengakuan’ terhadap keberadaan dirinya dalam keluarga.

Dalam hal ini, Islam sudah memberikan aturan etika dalam berkomunikasi dengan seorang ibu,

”…maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduaanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”(Al-Isra:23)

Saat menjelang dewasa seorang anak harus berusaha mulai belajar ‘mengalah’ terhadap ibunya, seperti halnya sang ibu yang dahulu pernah bermandi keringat, memeras otak dan berjumpalitan mengupayakan kesabaran dan tetap bersikap mengalah kepada kita, saat kita masih kecil.

Ada dua hal pokok yang harus diperhatikan dalam hal ini.

Pertama: Pelajari cara berkomunikasi yang baik dan benar, sesuai dengan kondisi pemahaman sang ibu. Tujuannya, agar seorang anak mampu mengucapkan kata-kata mulia, seperti yang dianjurkan dalam Al-Quran. Karena selain kestabilan emosi, kebagusan bahasa amat diperlukan dalam komunikasi yang baik. Hal itu juga perlu, bila kita mengacu pada apa yang diungkapkan oleh Ali bin Abi Thalib,

”Berbicaralah kepada orang sesuai dengan yang mereka ketahui/pahami. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari I/59)

Kedua: Pelajari gaya dan model komunikasi yang biasa dilakukan ibu, agar tidak mudah terjebak pada ‘prasangka’ atau kesalahan komunikasi.

Untuk itulah perlu diperhatikan beberapa langkah praktis yang bias diambill, di antaranya:

Berusaha membuka dialog secara praktis

Artinya, jangan membiarkan munculnya suasana kaku ketika berhadapan dengan ibu hanya karena lama tidak berkomunikasi secara langsung atau karena ada beberapa persoalan prinsipil yang sempat merenggangkan hubungan dengannya, misalnya.

Menjadi pendengar yang baik

Sebagai seorang anak, dituntuk sebisa mungkin menjadi pendengar yang baik terhadap ucapan orang tua, jangan menunjukkan mimik muka mengejek atau merendahkan atau menyatakan ketidak setujuan secara kasar.

Menghargai perasaan

Saat Islam melarang seorang anak mengucapkan ‘ah’, sudah menunjukkan tekanan agar si anak menjaga perasaan orang tua, terutama ibu, agar tidak tersinggung oleh ungkapan yang seremeh apapun. Seringkali seorang ibu menjadi tidak mampu menyetujui usulan sang anak, hanya karena tersinggung oleh cara bicaranya yang kasar dan kurang beradab.

Jangan menyela

Seperti disebutkan sebelumnya, seorang anak tidak boleh mendahului perbuatan orang tua, tanpa seizinnya, termasuk berbicara. Menyela, yang kadang berakibat pada putusnya pembicaraan orang tua, adalah tindakan yang kurang beradab dan mengganggu kelancaran komunikasi timbal balik.

Jangan ngelantur

Dalam sebuah dialog, seringkali seorang anak tanpa sadar berbicara ngelantur, keluar dari subyek pembicaraan. Biasanya karena secara kebetulan bertemu dengan ‘hal-hal’ di luar materi dialog yang menarik perhatiannya. Itu sama sekali tidak layak terjadi dalam komunikasi dengan seorang ibu, sebagai figure yang seharusnya dihormati dan dimuliakan. Jangan membuatnya kebingungan, atau merasa kesal karena tidak bias menangkap maksud ucapan anaknya. “Saya yang terlalu bodoh atau anak saya yang tidak waras?” mungkin begitu pikiran seorang ibu bila anaknya berbicara ngelantur.

Hindari pertengkara

Jangan merusak dialog yang sejuk menjadi pertengkaran. Hal ini bias dipicu karena kesalahpahaman yang terlalu dibesar-besarkan, nada bicara yang tidak terkontrol, atau ucapan-ucapan yang kurang layak. Bila ibu yang terlebih dahulu emosional, berhentilah berbicara sejenak, meminta maaf (yang kedua ini biasanya agak sulit) segera atau beberapa saat kemudian, baru memulai pembicaraan kembali.

Jangan memaksakan pendapat

Bila dialog tersebut tidak mencapai kesepakatan, jangan terburu-buru memaksakan pendapat. Ulangi saja dialog itu di kesempatan lain, sebisa mungkin dengan cara yang berbeda. Bila komunikasi lisan dirasa kurang optimal, boleh dicoba gunakan komunikasi melalui surat dan sejenisnya. Mungkin, dengan tidak adanya kontak verbal secara langsung, gejolak emosi bisa ditekan seminimal mungkin.

Dengan beberapa langkah tersebut diharapkan komunikasi yang sudah berjalan baik akan terpelihara dengan baik. Pun komunikasi yang mungkin sempat terganggu bisa dipulihkan lagi dengan baik. Teknik ini tidak terbatas komunikasi dengan ibu, bisa dicoba dengan anggota keluarga yang lain, atau kerabat bahkan teman dan relasi.

Sumber: Majalah Fatawa Vol. V/No. 03 Maret 2009. Hal 26-28.

2 comments:

Damar Who Land said...

Memang begitu mulia sosok seorang Ibu,...dan begitu besar pengorbanan beliau sehingga tak akan sanggup kita untuk membalasnya. I Love U mom,.....

Najla said...

I love you too....
(you = my mom) he.....