Showing posts with label Kajian. Show all posts
Showing posts with label Kajian. Show all posts

Thursday, February 11, 2010

I love you, Dad...

Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan, yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya…..
Akan sering merasa kangen sekali dengan Mamanya.
Lalu bagaimana dengan Papa?
Mungkin karena Mama lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari,
tapi tahukah kamu, jika ternyata Papa-lah yang mengingatkan Mama untuk menelponmu?
Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Mama-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng,
tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Papa bekerja dan dengan wajah lelah Papa selalu menanyakan pada Mama tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?

Friday, June 19, 2009

Antara Shalat dan Maksiat

"Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar." (QS.29:45)

Berdasarkan zahir ayat ini, setiap orang yang shalat tidak akan melakukan perbuatan keji dan mungkar. Tapi, hal ini bertentangan dengan realita di lapangan. Banyak orang shalat tapi mencuri, korupsi, bohongnya tetap jalan. Bahkan, ada orang yang shalat tapi ia tetap melakukan dosa besar.

Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa beberapa sahabat menanyakan kepada Rasulullah saw perihal seseorang yang suka berbuat maksiat, tapi shalat tidak pernah dia tinggalkan. Rasulullah saw menjawab "Suatu saat nanti shalatnya akan mencegahnya dari maksiat itu." Tidak lama kemudian terdengar kabar bahwa orang itu telah tobat.

Jika kita tinjau dari sisi bahasa mencegah atau melarang adalah semacam perintah untuk meninggalkan sesuatu. Larangan sebagaimana perintah bukan berarti membelenggu dan merantai sehingga orang tidak bisa bergerak. Tapi dia tak lebih dari ajakan yang meminta seseorang untuk meninggalkan sesuatu. Merupakan tabiat sebuah ajakan bahwa terealisasi atau tidaknya larangan tersebut kembali kepada orang yang dilarang. Seperti ketika Allah melarang manusia berbuat dosa. Tapi tetap saja ada manusia yang melakukannya.

Diantara keajaiban shalat, ia menghadirkan perasaan menyesal dan bersalah pada orang yang melakukan maksiat. Berbeda dengan ibadah lainnya yang bisa diolah setan untuk dijadikan pembenaran terhadap sebuah kesalahan. Seperti ibadah zakat. Seorang koruptor dan perampok –dengan bisikan setan- merasa bahwa dengan mengeluarkan zakat korupsi dan perampokannya akan diampuni. Atau setan membisikkan bahwa tindakan korupsinya adalah sebuah tindakan yang benar karena menjadi jalan kebaikan bagi orang miskin yang menerima zakat. Sehingga dia semakin semangat untuk melakukan aksinya itu. Sementara ketika shalat, bisikan-bisikan pembenaran terhadap maksiat biasanya tidak muncul. Yang muncul dan menghantui justru perasaan bersalah dan menyesal. Sehingga orang yang melakukan maksiat sebelum shalat biasanya untuk berdoa tidak percaya diri.

Bagi seorang yang menjaga shalat sekaligus pecandu maksiat penyesalan dan perasaan bersalah akan terus menghantui selama dia menjaga shalatnya. Minimal lima kali sehari perasaan itu mengetuk dan membuat nuraninya memberontak.

Agar terhindar dari perasaan itu dia terdesak pada dua pilihan, menunaikan shalat dan meninggalkan maksiat atau tetap bermaksiat tapi meninggalkan shalat. Salah satu dari dua pilihan itu mesti dia ambil. Jika tidak, perasaan itu akan terus muncul minimal lima kali sehari, yaitu ketika dia shalat.

Orang yang mengambil pilihan pertama, menjaga shalat dan meninggalkan maksiat, pada awalnya barangkali akan merasa berat ketika godaan-godaan maksiat itu datang. Namun ketika shalat dia akan aman dan khusu' bebas dari penyesalan dan perasaan bersalah. Sehingga,dia pun percaya diri ketika menengadahkan tangan berdoa kepada-Nya. Sementara yang mengambil pilihan kedua, tetap bermaksiat dan meninggalkan shalat akan semakin larut dalam maksiatnya. Perasaan bersalah dan menyesal yang selama ini muncul lima kali sehari sudah tidak ada lagi. Semakin lama dia akan semakin larut dan terkubur dalam jurang maksiat. Pilihan itu mesti dia ambil karena shalat dan maksiat selamanya tidak akan bisa disatukan. Wallahua'lam
sumber: Eramuslim (oleh Koprinurzen)

Sunday, May 24, 2009

Menikmati Hidup, Bukan Mengejar Kenikmatan


Kebahagiaan itu laksana seekor kupu-kupu, ujar seorang bijak. Kejarlah maka ia akan lari darimu. Duduklah dengan tenang maka ia akan hinggap di pundakmu. Inilah analogi yang sederhana namun begitu indah mengenai kebahagiaan. Duduk dengan tenang adalah gambaran terbaik menikmati hidup. Bukankah keindahan itu terbentang luas di dalam diri kita? Bukankah sumber kebahagiaan terletak dalam relung-relung hati kita yang terdalam?

Allah menciptakan segalanya untuk kita nikmati, tetapi sayangnya hal itu sering luput dari pengamatan kita. Ini disebabkan keyakinan bahwa sumber kebahagiaan itu ada di luar sana, sehingga kita mengejarnya seperti mengejar kupu-kupu. Kita menyangka bahwa harta yang banyak akan membuat kita bahagia. Kita memburu kenikmatan dari pemilikan benda-benda, jabatan, seks, serta kenikmatan indrawi. Namun ironisnya semakin banyak kita mendapatkannya, semakin berkuranglah kepuasan kita dan semakin besarlah keinginan kita untuk mendapatkan lebih dan lebih lagi. Batas kepuasan kita adalah langit, yang berarti bahwa kita tidak pernah menikmati kepuasan dan kenikmatan hidup.

Lantas bagaimana cara menikmati hidup yang indah? Saya akan berbagi dua tips yang mudah untuk Anda terapkan. Pertama, Anda dapat memulainya dengan duduk diam dan tenang, lalu mulai melihat, dan memperhatikan. Bukalah mata dan telinga Anda seluas-luasnya, dan perhatikan segala sesuatu di sekitar Anda. Tanyakan pada diri Anda sendiri, apa yang saat ini sudah Anda miliki? Teruskan pengamatan Anda dan Anda akan menemukan begitu banyak hal yang selama ini tak pernah Anda lihat dan pikirkan. Kita sering menganggap segala sesuatu itu ada begitu saja [taken for granted]. Padahal bahkan tak ada satu helaan nafas pun yang bisa terjadi begitu saja tanpa campur tangan Allah. Nah, kalau Anda terus menghitung-hitung nikmat itu, Anda akan menemukan bahwa selalu saja ada hal yang luput dari pengamatan Anda. Bahkan kalau air samudera kita jadikan sebagai tintanya kita tak akan pernah dapat menuliskan nikmat-nikmat tersebut secara lengkap.

Friday Readers yang budiman, kita seringkali ‘kikir’ dalam bersyukur. Kita hanya mensyukuri
hal-hal yang kita anggap besar, kejadian istimewa, dan hal-hal yang luar biasa. Padahal ada banyak sekali ‘hal-hal kecil’ yang disediakan Tuhan yang sebetulnya sangat luar biasa. Bukankah jantung kita tak pernah berhenti berdenyut sekejappun? Bukankah setiap detik kita menikmati helaan nafas yang dalam dan indah? Bukankah mata kita dapat menyaksikan jutaan bentuk yang luar biasa indah? Bukankah telinga kita dapat membedakan berbagai jenis suara yang berbeda?

Kelemahan kita adalah karena kita sering meng-under value apa yang kita miliki. Coba saja dari skala 1 [sangat buruk] sampai 5 [sangat baik], berapakah nilai yang Anda berikan untuk pekerjaan, atasan, rekan kerja, pasangan dan anak-anak Anda? Katakanlah Anda memberikan nilai 3 yang artinya cukup. Namun tahukah Anda bahwa nilai yang Anda berikan tadi sesungguhnya bukanlah nilai yang sebenarnya?

Nilai mereka yang sesungguhnya pastilah lebih dari itu dan baru akan terasa ketika kita kehilangan mereka. Ketika kehilangan sesuatu, mata kita baru akan terbuka lebar dan memahami betapa pentingnya hal tersebut bagi kita.

Karena itu inilah tips kedua yang juga bisa Anda terapkan: Bayangkan segala sesuatunya tidak ada. Bayangkan bahwa orangtua, pasangan, anak, atasan, rekan kerja, dan semua kenikmatan yang Anda miliki sekarang ini tidak ada lagi. Resapilah skenario ini seakanakan hal ini benar-benar nyata. Karena bukankah suatu ketika kita memang benar-benar akan kehilangan segalanya? Menghayati skenario ini pasti membuat Anda tersentuh dan menangis dalam kebahagiaan dan keharuan yang luar biasa. Allah Maha Besar. Dia begitu menyayangi kita dengan memberikan segala sesuatunya untuk kita nikmati. « []

Oleh Arvan Pradiansyah
Penulis Best Seller Buku The 7 Laws of Happiness, & Host Talkshow “Smart Happiness” di Smart FM Network - www.ilm.co.id

Sumber: Alif Magazine

Wednesday, May 20, 2009

Islam dan Kebangkitan Nasional

Sebuah Refleksi Sejarah Kebangkitan Nasional*)

UMAT muslim di Indonesia merupakan penduduk mayoritas dan terbesar di dunia. Sebagai penduduk mayoritas seharusnya dalam menjalani tatanan kehidupan bermasyarakat harus sesuai dengan cita-cita agamanya, yakni suatu kehidupan yang Islami. Namun fenomena yang terjadi di Indonesia sangat kontras dengan harapan dan keinginan Islam, di zaman yang menuntut pola hidup dan pemikiran yang progesif untuk mengimbangi modernisasi budaya barat yang sedang melanda dunia, umat Islam di Indonesia bukannya semakin memperkuat Ukhuwah Islamiyahnya, tetapi menjadi semakin tertutup dan saling mencurigai terhadap kelompok Islam yang lain.

Banyaknya tragedy kemanusiaan (peledakan bom) yang terjadi di Indonesia membuat umat Islam Indonesia semakin termarjinalkan, stigma teroris yang di berikan barat terhadap kalangan kelompok Islam yang ingin menunjukkan symbol-simbol arabisme telah mempengaruhi ke Imanan dan Ukhuwah Islamiyah umat Islam di negeri ini.

Indonesia sebagai penganut agama Islam terbesar didunia sepertinya semakin kebingungan dan merasa tidak percaya diri untuk menunjukkan eksistensinya sebagai kelompok mayoritas. Tanpa kita sadari ternyata budaya "kesadaran naïf" yang ditawarkan oleh barat dengan paradigma hedonisme telah membelenggu kehidupan kita. Apakah kita lupa bahwa pada masa lalu peranan umat Islam untuk membebaskan Indonesia dari belenggu kolonialisme dan imperialisme barat sangatlah besar, pelopor kebangkitan nasional adalah umat Islam. Salah satu tokohnya ialah H.O.S Cokroaminoto dengan Sarekat Islamnya yang pada tahun 1916 di Bandung pada saat kongres Nasional Central Sarekat Islam tersebut, HOS Cokroaminoto memperkenalkan paradigma nasionalisme untuk membela dan membangun Nusantara. Selain itu, beliau mendeklarasikan Pemerintahan sendiri untuk bangsa Indonesia dan tidak mengakui nama Hindia Belanda yang diberikan oleh Belanda untuk nusantara. Sebagai bangsa timur, beliau lebih bangga menyebut Indonesia dengan 'Hindia Timur' Mungkin generasi muda selama ini hanya tahu kebangkitan nasional yang selalu di peringati setiap tanggal 20 Mei dipelopori oleh gerakan Boedi Oetomo. Padahal semenjak lahirnya gerakan Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 sampai 31 tahun kemudian, organisasi tersebut tidak pernah mau mengakui bahasa melayu sebagai bahasa nasional, gerakan ini sangat eklusif dan tidak mau menerima anggota dari luar Jawa serta menginginkan bahasa Jawa atau Belanda sebagai bahasa nasional. Masalah ini membuat kesal beberapa tokoh pejuang nasional pada waktu itu dan menganggap bahwa gerakan Boedi Oetomo adalah gerakan kebudayaan kejawen tulen yang menafikan peranan pemuda dari luar jawa.

Nuansa jawanisme 5 Oktober tahun itu juga dilangsungkan Konggres Nasional Jawa yang diketuai oleh Wahidin. Konggres memutuskan, mendirikan perkumpulan BUDI UTOMO, seperti yang telah ada di Jakarta dan diketuai oleh R.A.A Tirtokusumo.

Dari refleksi tersebut, apakah masih pantas rakyat Indonesia setiap tahunnya memperingati 20 Mei sebagai hari Kebangkitan Nasional? Bukan maksud penulis untuk memarjinalkan gerakan Boedi Oetomo, tapi sejarah bangsa kita selama masa orde lama telah diedit sedemikian rupa, kemudian diperparah oleh pemerintahan orde baru yang anti terhadap gerakan Islam progesif maupun yang konservatif karena dianggap mengancam pemerintahan.

Untuk menekan berkembangnya gerakan yang bersimbol Islam pemerintahan diktator orde baru mengeluarkan Undang-Undang No 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, dimana diundang-undang semua ormas harus berazaskan Pancasila tidak terkecuali ormas Islam. Semua dilakukan agar umat Islam tidak berusaha untuk muncul kepermukaan dengan nuansa relegius dalam rangka memperjuangkan nasib bangsa ini.

Kembali kemasa lalu, perjuangan H.O.S Cokroaminoto dengan Sarekat Islamnya pada masa kolonialisme mendapat dukungan dari semua kalangan masyarakat, dan banyak organisasi yang berdiri disaat Sarekat Islam masih berjaya berusaha memakai konsep pemikiran maupun simbol Sarekat Islam yang nasionalis, seperti partai nasional Indonesia (PNI) yang di pelopori oleh Soekarno (presiden R.I pertama) pada tanggal 14 juli 1927 yang memakai gambar kepala banteng sebagai lambang PNI, kepala banteng tersebut di pakai oleh PNI atas permintaan Soekarno terhadap H.O.S Cokroaminoto, karena lambang banteng tersebut merupakan salah satu lambang Sarekat Islam. Semenjak PNI memakai lambang kepala banteng, Sarekat Islam tidak lagi memakainya, hal tersebut dilakukan H.O.S Cokroaminoto sebagai bentuk penghargaan terhadap PNI. Pada tahun 1931 Partindo (Partai Kristen Indonesia) meminta izin untuk memakai lambang banteng Sarekat Islam secara utuh, sebagai lambang kebesaran partai tersebut tanpa diubah sedikitpun. Dari sini dapat kita lihat bahwa Banteng sebagai lambang nasionalisme yang di pakai oleh PNI dan Partindo ternyata sudah di pakai oleh Sarekat Islam belasan tahun sebelum lahirnya kedua partai nasionalis tersebut. Kedua parpol tersebut menganggap Sarekat Islam sebagai pelopor pergerakan nasional dalam rangka menuntut kemerdekaan Indonesia dari konolianislme barat.

Di zaman modern ini, seharusnya organisasi Islam yang ada dapat mengikuti jejak Sarekat Islam, bukannya saling menutup diri terhadap organisasi Islam lainnya sehingga ukhuwah Islamiyah hanya menjadi slogan saja. Perlu kita renungkan kembali bahwa kebangkitan nasional untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah di masa lalu di pelopori oleh gerakan Islam, sehingga ada istilah penjajahan yang di lakukan oleh konolianislme barat (Belanda) terhadap Indonesia merupakan penjajahan yang di lakukan bangsa kafir terhadap umat Islam. Karena di masa penjajahan tersebut, apabila ada orang Islam yang keluar dari agamanya akan di anggap kawan oleh penjajah dan selalu mendapatkan perlakuan istimewa.

Di era moderenisasi sekarang Islam harus bangkit, sudah saatnya kaum muda Islam Indonesia meluruskan sejarah peranan umat Islam dalam kemerdekaan Indonesia, karena selama bangsa ini dikendalikan oleh pemerintahan rezim orde baru yang berkuasa selama 32 tahun, kelompok Islam dianggap sebagai 'racun' yang dapat menghambat kejayaan rezim tersebut. Oleh karena itu sejarah perjuangan founding father para kemerdekaan dengan simbol-simbol gerakan Islamnya yang menginginkan kebebasan mutlak bangsa ini dari penindasan kaum penjajah dianggap tidak pernah ada. Pemerintahan orde baru berusaha mendoktrin generasi sekarang agar mereka beranggapan bahwa Islam tidak pernah berbuat apa-apa untuk bangsa ini.

Walaupun dalam pelurusan sejarah peranan Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia khususnya 'jihad' dalam menegakkan nasionalisme berkebangsaan, bukan berarti generasi Islam masa kini harus tinggi hati. Sebaliknya masyarakat muslim sekarang harus bisa menjadi HOS Cokroaminoto masa kini. Umat muslim harus bisa menjadi pelopor dalam menjaga kerukunan hidup bermasyarakat yang sangat majemuk.

*) Oleh : Hasan basri
Penulis adalah Kepala Departemen Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan SDM PW. IPNU Kalbar.
Sumber: Pontianak Pos dan duniaesai.com

Saturday, March 21, 2009

KOMUNIKASI DUA ARAH

Komunikasi adalah sebuah hal yang penuh makna. Tentunya bila komunikasi itu mampu mengungkap secara optimal segala curahan hati, pokok pemikiran, dan ungkapan kasih atau benci, dari pihak-pihak yang saling berkomunikasi.

Lebih-lebih komunikasi yang terjadi antara ibu dan anak. Keduanya adalah pihak yang sudah terikat cinta kasih secara fitrah. Cinta kasih itu bahkan menjadi ‘sejati’, saat sudah dibaluri nilai-nilai Islami. Target cinta kasih itu menjadi sosok yang jelas, yakni menggapai keridhaan Allah.

Masalah adalah masing-masing pihak kerap kalil berbicara dengan bahasa yang unik, sesuai dengan wawasan dan perkembangan intelektualitasnya. Terkadang, antara ibu dan anak mengomunikasikan cinta kasih dengan cara yang berbeda. Masing-masing juga punya cara spesifik untuk membuat lelucon, canda, atau basa-basi, yang seringkali dipahami berbeda oleh pihak lain.

Saat anak masih kecill, mungkin pihak orang tua yang lebih banyak mengalah, terutama ketika seorang anak merasa ‘dicuekin’, akibat permintaannya sulit ditangkap oleh sang ibu. Sang ibu yang harus bekerja keras memeras otak untuk memahami bahasa si anak. Saat anak sudah beranjak dewasa, di mana tingkat kepekaannya meningkat, daya nalarnya juga bertambah kuat, sementara tingkat kestabilan emosinya masih kurang, pola berpikir dan wawasannya mulai membentuk, terjadilah egoisme yang menyebabkan terganggunya komunikasi vertical antara kedua belah pihak.

Sang ibu memang sudah selayaknya bersabar, dan pada umumnya seorang ibu memang sudah dibekali peranti kesabaran yang luar biasa. Namun seringkali seorang anak masih merasa kurang. Segala bentuk keinginannya dan arah pikirannya selalu ingin ditampilkannya secara sempurna, dan dapat ditangkap dan dipahami secara sempurna pula. Lebih dari itu, ia tidak ingin realisasi pemikirannya mengalami hambatan, dikritik atau bahkan dihujat. Terutama, di saat ia membutuhkan ‘pengakuan’ terhadap keberadaan dirinya dalam keluarga.

Dalam hal ini, Islam sudah memberikan aturan etika dalam berkomunikasi dengan seorang ibu,

”…maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduaanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”(Al-Isra:23)

Saat menjelang dewasa seorang anak harus berusaha mulai belajar ‘mengalah’ terhadap ibunya, seperti halnya sang ibu yang dahulu pernah bermandi keringat, memeras otak dan berjumpalitan mengupayakan kesabaran dan tetap bersikap mengalah kepada kita, saat kita masih kecil.

Ada dua hal pokok yang harus diperhatikan dalam hal ini.

Pertama: Pelajari cara berkomunikasi yang baik dan benar, sesuai dengan kondisi pemahaman sang ibu. Tujuannya, agar seorang anak mampu mengucapkan kata-kata mulia, seperti yang dianjurkan dalam Al-Quran. Karena selain kestabilan emosi, kebagusan bahasa amat diperlukan dalam komunikasi yang baik. Hal itu juga perlu, bila kita mengacu pada apa yang diungkapkan oleh Ali bin Abi Thalib,

”Berbicaralah kepada orang sesuai dengan yang mereka ketahui/pahami. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari I/59)

Kedua: Pelajari gaya dan model komunikasi yang biasa dilakukan ibu, agar tidak mudah terjebak pada ‘prasangka’ atau kesalahan komunikasi.

Untuk itulah perlu diperhatikan beberapa langkah praktis yang bias diambill, di antaranya:

Berusaha membuka dialog secara praktis

Artinya, jangan membiarkan munculnya suasana kaku ketika berhadapan dengan ibu hanya karena lama tidak berkomunikasi secara langsung atau karena ada beberapa persoalan prinsipil yang sempat merenggangkan hubungan dengannya, misalnya.

Menjadi pendengar yang baik

Sebagai seorang anak, dituntuk sebisa mungkin menjadi pendengar yang baik terhadap ucapan orang tua, jangan menunjukkan mimik muka mengejek atau merendahkan atau menyatakan ketidak setujuan secara kasar.

Menghargai perasaan

Saat Islam melarang seorang anak mengucapkan ‘ah’, sudah menunjukkan tekanan agar si anak menjaga perasaan orang tua, terutama ibu, agar tidak tersinggung oleh ungkapan yang seremeh apapun. Seringkali seorang ibu menjadi tidak mampu menyetujui usulan sang anak, hanya karena tersinggung oleh cara bicaranya yang kasar dan kurang beradab.

Jangan menyela

Seperti disebutkan sebelumnya, seorang anak tidak boleh mendahului perbuatan orang tua, tanpa seizinnya, termasuk berbicara. Menyela, yang kadang berakibat pada putusnya pembicaraan orang tua, adalah tindakan yang kurang beradab dan mengganggu kelancaran komunikasi timbal balik.

Jangan ngelantur

Dalam sebuah dialog, seringkali seorang anak tanpa sadar berbicara ngelantur, keluar dari subyek pembicaraan. Biasanya karena secara kebetulan bertemu dengan ‘hal-hal’ di luar materi dialog yang menarik perhatiannya. Itu sama sekali tidak layak terjadi dalam komunikasi dengan seorang ibu, sebagai figure yang seharusnya dihormati dan dimuliakan. Jangan membuatnya kebingungan, atau merasa kesal karena tidak bias menangkap maksud ucapan anaknya. “Saya yang terlalu bodoh atau anak saya yang tidak waras?” mungkin begitu pikiran seorang ibu bila anaknya berbicara ngelantur.

Hindari pertengkara

Jangan merusak dialog yang sejuk menjadi pertengkaran. Hal ini bias dipicu karena kesalahpahaman yang terlalu dibesar-besarkan, nada bicara yang tidak terkontrol, atau ucapan-ucapan yang kurang layak. Bila ibu yang terlebih dahulu emosional, berhentilah berbicara sejenak, meminta maaf (yang kedua ini biasanya agak sulit) segera atau beberapa saat kemudian, baru memulai pembicaraan kembali.

Jangan memaksakan pendapat

Bila dialog tersebut tidak mencapai kesepakatan, jangan terburu-buru memaksakan pendapat. Ulangi saja dialog itu di kesempatan lain, sebisa mungkin dengan cara yang berbeda. Bila komunikasi lisan dirasa kurang optimal, boleh dicoba gunakan komunikasi melalui surat dan sejenisnya. Mungkin, dengan tidak adanya kontak verbal secara langsung, gejolak emosi bisa ditekan seminimal mungkin.

Dengan beberapa langkah tersebut diharapkan komunikasi yang sudah berjalan baik akan terpelihara dengan baik. Pun komunikasi yang mungkin sempat terganggu bisa dipulihkan lagi dengan baik. Teknik ini tidak terbatas komunikasi dengan ibu, bisa dicoba dengan anggota keluarga yang lain, atau kerabat bahkan teman dan relasi.

Sumber: Majalah Fatawa Vol. V/No. 03 Maret 2009. Hal 26-28.

Monday, March 9, 2009

MENGAPA HARUS MAULIDAN? (BAGIAN II)

Alasan demi mencintai Rasulullah SAW hanyalah kilah para pihak yang terlanjur menggemari perayaan maulid. Masih ada setumpuk syubhat yang mereka lontarkan. Di antaranya:

1. Perayaan/Peringatan Maulid Nabi Merupakan Salah Satu Bentuk Penghormatan dan Pengagungan Kepada Beliau.

Sanggahan:
Menghormati dan mengagungkan Rasulullah SAW hanyalah dengan cara menaatinya, menjalankan perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Tidak bisa dilakukan dengan cara bid’ah, Khurafat, dan maksiat, bahkan terkadang sampai tingkat musyrik - Na’udzubillah min dzalik.

Para sahabat beliaulah yang paling menghormati dan mengagungkannya. Urwah bin Mas’ud, seorang duta kaum Quraisy untuk menemui Rasulullah SAW bercerita kepada orang-orang Quraisy, “Wahai kaumku, demi Allah, kalian pernah mengutusku sebagai duta kepada Kisra, raja Romawi, kepada Qaishar raja Persia, dan raja-raja yang lainnya; sungguh saya tidak pernah melihat seorang raja yang dihormati dan diagungkan oleh para sahabatnya sebagaimana sahabat Muhammad mengagungkan Muhammad. Demi Allah, mereka tidak berani mengangkat pandangan mereka kepadanya demi penghormatan dan pengagungan kepadanya.”

Meskipun demikian, para sahabat Nabi tidak menjadikan hari kelahiran beliau sebagia hari ulang tahun yang dirayakan atau diperingati. Kalaulah hal itu baik tentu mereka tidak akan meninggalkannya. Mereka lebih bersemangat dalam kebaikan, ittiba’ (mengikuti), taat dan menghidupkan sunnah-sunnah beliau secara lahir dan batin.

2. Perayaan atau Peringatan Maulid Nabi merupakan Sarana untuk Menghidupkan Penyebutan Nama Nabi SAW

Sanggahan:
Menghidupkan penyebutan nama Nabi harus berdasarkan syariat. Sebagaimana Allah perintahkan dalam firman-Nya,
Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.” [Al-Insyirah: 4]
Maksudnya, nama beliau ikut disebut bersama nama Allah, seperti dalam adzan, iqamah, khutbah, shalat, tasyahhud, atau pembacaan hadits. Hal seperti ini sering diulang setiap harinya, bukan hanya sekali setahun ketika memperingati maulid Nabi yang tidak ada dasarnya.

3. Meski Bid’ah, Perayaan Maulid Nabi termasuk Bid’ah Hasanah karena dilaksanakan sebagai Rasa Syukur kepada Allah atas Keberadaan Nabi yang Mulia.

Sanggahan:
Bid’ah, jika menyangkut urusan agama, tidak dikenal istilah bid’ah hasanah. Dasarnya hadits:
“Siapa yang menghidupkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dalam din kami, amalannya ditolak, tidak diterima.” [Shahih al-Bukhari no. 2550 dan Shahih Muslim no. 1718]Begitu pula sabda beliau:
“Dan sungguh setiap bid’ah adalah sesat.” [Fathul Bari Syarhu Shahil al-Bukhari no. 6849]

Kalau memang maulid adalah ungkapan syukur, mengapa sejak generasi sahabat hingga imam madzhab yang empat tidak ada yang melakukannya? Apakah logika keimanan mereka lebih rendah dibanding orang-orang ini menyangka lebih mendapat petunjuk daripada generasi awal tersebut? Sejarah menoreh tinta emas bukti generasi awal tersebut lebih bersemangat terhadap kebaikan dan lebih banyak bersyukur kepada Allah.

4. Menginggalkan Perayaan/Peringatan Maulid Nabi Berarti Mengurangi Hak Beliau

Sanggahan:
Jika yang dimaksud adalah orang yang meninggalkan perayaan maulid kurang keyakinannya kepada Rasulullah SAW, maka sebuah tuduhan yang gegabah dan tidak berdasar. Apabila yang dimaksud adalah berkurangnya hak-hak Nabi secar syariat, maka kembalinya adalah al-Kitab dan al-Sunnah yang sahih serta tiga generasi awal yang telak dipersaksikan keutamaannya. Tidak ditemukan perintah mengadakan maulid Nabi dalam Kitab dan Sunnah serta tidak ada contoh pelaksanaannya dari mereka. Bukankah kita beragama dengan dalil yang sahih dan pemahaman yang benar, bukan dengan perasaan dan mengesampingkan dalil?

Imam Malik berkata, “Barangsiapa membuat suatu bid’ah dalam Islam lantas menganggapnya sebagai suatu kebaikan, berarti menuduh Nabi Muhammad SAW telah mengkhianati risalah karena Allah berfirman,
Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridhai Islam menjadi agama kalian.” [Al-Maidah: 3]

Jadi, apa yang pada hari itu bukan termasuk agama, maka pada hari ini pun bukan termasuk agama.”
[Ilmu Ushulil Bida’ karya Ali Hasan Abdul Hamid hal. 20 terbitan Dar al-Rayah cetakan ke-2 tahun 1417H]
Sungguh aneh ketika orang mengaku mencintai Rasulullah SAW tetapi justru menabrak rambu-rambunya. Jika betul mereka mencintai Rasulullah SAW dan keluarganya tentu mereka akan ingat pesan penyair:

Jikalau cintamu tidak dusta, niscaya engkau akan menaatinya. Sungguh orang yang mencintai akan mematuhi orang yang dicintainya.
Jika maulid bukan meniru kebiasaan Natal orang Nasrani, tetap saja merupakan bid’ah orang Syi’ah ekstrim, Syi’ah Bathiniyah yang dikenal dengan sebutan Qaramithat. Mereka mencampakkan hadits Rasulullah SAW yang menegaskan keutamaan Abu Bakar dan Umar atas yang lain. Mereka pula yang melakukan laknat kepada Aisyah RA, isteri Rasulullah SAW yang sangat mencintainya. Mengikuti perayaan maulid berarti mengikuti kebiasaan mereka. Sementara Rasulullah SAW memperingatkan,
Barangsiapa meniru suatu kaum, berarti dia termasuk bagian dari mereka.” [Sunnah Abu Dawud no. 431]

Akhirnya, sulit dibenarkan jika perayaan [peringatan] maulid nabi dengan segala modelnya diklaim sebagai sebuah bentuk kebaikan dalam rangka menaati dan mencintai Rasulullah SAW. Justru kebenaran ada pada pihak yang menolak melakukannya, demi ketaatan kepada Rasulullah SAW dalam menjaga kebersihan ajaran Islam. Bukankan masih banak sunnah-sunnah Rasulullah SAW yang masih terbengkelai belum kita sentuh? Sungguuh ironi, sementara bid’ah maulid dibela mati-matian. Semoga kita terhindar dari pengaruh dan tipu daya para penyeru bid’ah bahkan terkadang tidak memahami sunnah. Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Majalah Fatawa Vol V/No. 02/Shafar 1430 : Pebruari 2009. Hal 8-11.

MENGAPA HARUS MAULIDAN? (BAGIAN I)

Rasulullah SAW tidak pernah berwasiat agar hari kelahirannya diperingati, meski di zamannya peringatan ulang tahun maulid (hari kelahiran) sudah dikenal. Saat itu kalangan Nasrani sudah akrab dengan adanya Natal, yang dianggap sebagai peringatan hari kelahiran Nabi Isa al-Masih AS. Natal sendiri merupakan adopsi budaya paganis (musyrikin) yang biasa dirayakan masyarakat Yunani maupun Romawi, yang mempunyai tradisi memperingati hari kelahiran dewa-dewa mereka. Hingga kemudian sekelompok mempunyai ide untuk melakukan hal sama bagi Rasulullah SAW. Bagaimana dengan Maulid Nabi Muhammad SAW?

SEJARAH MUNCULNYA PERAYAAN MAULID

Secara bahasa sebenarnya arti Natal dan Maulid tidaklah berbeda. Natal sendiri dimulai tahu 355M yang dipelopori oleh Liberius, seorang Bishop Katolik, yang mengadopsi hari kelahiran Dewa Matahari milik Romawi. Sehingga kata Al-Sakhawi, ”Apabila orang-orang salib/Kristen menjadikan hari kelahiran Nabi mereka sebagai hari raya, maka orang Islam pun lebih dari itu.” [Al-Tibr al-Masbuk fi Dzaili al-Suluk oleh Imam Al-Sakhawi] Dari perkataan Al-Sakhawi dapat diambil simpulan bahwa di antara yang dijadikan dasar perayaan maulid Nabi adalah meniru (tasyabuh) kaum Nasrani, sementara hal ini termasuk perbuatan dilarang. Alhasil, kenyataan bahwa tradisi memperingati hari kelahiran adalah budaya primitive dinamisme tidak bisa ditampik.

Orang yang pertama kali mengadakan perayaan Maulid Rasulullah SAW adalah Bani Ubaid, yang dipandegani al-Mahdi Abu Muhammad Ubaidillah bin Maimun al-Qaddah. Sejak tahun 317H di Maroko. Kelompok ini dikenal sebagai Qaramithah, salah satu aliran Syi’ah ekstrim. Ibu Khaliqan berkata tentang nasab Ubaidillah, ”Semua ulama sepakat mengingkari silsilah nasab keturunannya dan bahwa semua yang menisbatkan dirinya kepada Fatimiyyun adalah pendusta! Mereka tak lebih turunan Yahudi dari Silmiyah negeri Syam dari keturunan al-Qaddah. Ubaidillah menginggal tahun 322H, hingga keturunannya al-Mu’iz Lidinillah, berkuasa di Mesir. Kekuasaan Ubaidiyyun atau Fatimiyyun ini bertahan hingga 2 abad lamanya sehingga mereka dibinasakan oleh Shalahuddin al-Ayubi pada tahun 546H.”

Ahmad bi Ali al-Miqrizi, seorang pakar sejarah, menyebutkan, ”Para khalifah Fatimiyyah mempunyai berbagai perayaan setiap tahunnya. Ada perayaan tahun baru, hari Asyura’, Maulid Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fathimah al-Zahra, dan maulid Khalifah. Ada juga yang lain seperti perayaan awal bulan Rajab, awal Sya’ban, Nisfu Sya’ban, awal Ramadhan, pertengahan Ramadhan, dan penutupan Ramadhan…” [Al-Mawai’dz wal I’tibar bidzikril Khuthati wal Atsar I/490]

Kerajaan Ubaidiyun sendiri berdiri mulai 297H/909M, dengan ibu kotanya Qairawan, Maroko. Setelah kekuasaan Fathimiyun tamat, yang pertama kali merayakan hari ulang tahun nabi adalah Raja Mudhafir Abu Sa’ad Kaukaburi pada awal abad ke 7 Hijriyah. Sebagaimana diungkap oleh Imam Ibnu Katsir, ”Dia merayakan Maulid Nabi di bulan Rabi’ul Awal dengan amat meriah. Al-Sibt berkata, ‘Sebagian yang hadir menceritakan bahwa disiapkan hidangan raja Mudhafir berupa 5.000 daging panggan, 10.000 daging ayam, 10.000 gelas susu, dan 30.000 piring makanan ringan…”

Ibni katsir melanjutkan, ”Perayaan tersebut dihadiri tokoh-tokoh agama dan orang-orang Sufi. Sang raja pun menjamu mereka. Bahkan orang-orang Sufi punya acara khusus, yaitu bernyanyi dar waktu Dzuhur hingga fajar. Raja pun turut berjoget.” [Al-Bidayah wa al-Nihayah, XIII/137]

Ibnu Khaliqan berkata, “Bila tiba awal bulan Shafar, mereka menghiasi tenda besar dengan aneka hiasan yang indah dan mewah. Pada setiap tenda tersebut ada sekumpulan penyanyi, ahli penunggang kuda, dan pelawak. Hari itu adalah libur kerja karena ingin bersenang-senang di tenda tersebut bersama para penyanyi… Bila maulid kurang dua hari, raja mengeluarkan unta, sapi, dan kambing yang tak terhitung jumlahnya, diiringi suara terompet dan nyanyian sampai tiba di lapangan… pada malam maulid, raja mengadakan nyanyian setelah shalat Maghrib di benteng” [Wafayatul A’yan, IV/117-118]

Begitulah asal muasal terjadinya perayaan Maulid Nabi, yang kini menjadi menu wajib tahunan. Sebagian orang seakan tabu meninggalkannya, karena menganggapnya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan ada yang menuduh pihak yang tidak mau merayakan maulid nabi berarti tidak mencintai Rasulullah SAW, malah mau memberangus jasa dan perjuangan beliau!

MAULID SEBAGAI BUKTI CINTA PADA RASULULLAH SAW

Ini adalah kalimat yang sering disampaikan oleh para penggemar perayaan maulid nabi. Memang mencintai Rasulullah SAW adalah kewajiban, sebagai salah satu tuntutan dari rukun Islam yang pertama. Rasa cinta kepada beliau bahkan harus melebihi rasa cinta kepada ayah, anak, dan semua manusia. Beliau bersabda, “Tidak sempurnya keimanan seseorang dari kalian sehingga aku lebih dia cintai daripada ayah, anak, dan semua manusia.” [Shahih al-Bukhari No. 15]

Tetapi mencintai beliau tidak berarti lantas bisa diungkapkan lewat amalan yang tidak jelas juntrung-nya, seperti perayaan maulid Nabi. Konsekuensi cinta kepada Rasulullah adalah dengan patuh dan taat kepadanya, membela kehormatannya, mengikuti dan menghidupkan sunnah-sunnahnya serta menjauhi dan meninggalkan semua larangannya baik dalam perkara maupun perbuatan.

Para sahabat yang dekat –Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali – beserta seluruh keluarga dan anak turunannya, belum pernah ada yang mencoba memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW, padahal kebiasaan perayaan hari kelahiran sudah dikenal waktu itu. Mereka adalah orang yang paling bertakwa setelah Rasulullah SAW, paling taat pada Rasulullah SAW, paling menghormati, paling mencintai beliau, dan sosok yang haus dengan amal kebaikan. Begitu pula generasi tabi’in dan tabi’ tabi’in, termasuk imam madzhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Tidak ada bukti secuil pun mereka merayakan kelahiran manusia yang paling mereka cintai. Apakah para penggemar maulid akan merasa lebih mencintai Rasulullah SAW dibanding mereka?
Bersambung......

BASA BASI… ITU PERLU!

“Buih, bikin makanan kok asin begini, Mi!” Kata Fulan begitu mencicipi masakan isterinya. Wajah isterinya pun jadi merah padam. Malu, tapi juga tak suka suaminya berkomentar sekasar itu.

Sementara itu, seorang suami lain mengomentari tindakan isterinya yang dinilai salah dengan berkata, “Dasar kamu itu nggak pinter. Menyelesaikan hal begitu saja nggak becus!” Sang isteri pun jadi sakit hati mendengar kata-kata suaminya. Yang ia lakukan kemudian adalah masuk kamar dan memeluk bantal, sementara air matanya tak henti brecucuran.

Sebagian laki-laki, memang seringkali tak menyadari, bila suatu komentar atau ucapan yang tanpa basa basi itu bisa menyakiti hati isterinya. Padahal, dalam pergaulan suami isteri, dituntut adanya hubungan komunikasi yang harmonis, dan hal itu hanya akan terwujud bila masing-masing bisa mengatur kata-katanya agar tidak menyakitkan hati pasangannya.

Tidak bisakah seorang suami lebih sopan dalam mengkritik masakan isterinya dengan tersenyum dan mengatakan, ”Wah, makanan ini sebenarnya enak kok Mi…, cuma, mungkin kebanyakan garam…” Isteri yang dikomentari seperti itu mungkin masih bisa tersenyum, dan lain kali ia akan lebih berhati-hati dalam member garam pada masakannya.
Demikian pula ketika menilai tindakan isteri yang salah di mata suami, perlu basa basi, agar isteri bias menyadari kesalahannya tanpa merasa tersakiti. Misalnya dengan berkata, ”Begini Mi, langkah yang Ummi ambil itu mungkin sudah benar, tap kurang tepat. Alangkah baiknya jika untuk menyelesaikan hal itu Ummi bersikap …… Insya Allah nanti hasilnya akan lebih baik.”

Bukankah kata-kata seperti itu terdengar begitu menyenangkan dan sejuk di hati?
Begitu pula yang diajarkan oleh sahabat Nabi SAW, Umar bin Khaththab RA. Ketika beliau menjadi khalifah, ada seorang wanita yang dia panggil untuk menghadapnya. Sebelumnya, wanita itu ditanya oleh suaminya, ”Apakah kamu mencintaiku?” Ia menjawab, ”Tidak.” Maka Umar pun memanggil wanita itu agar menghadap, lalu beliau tanyakan kepadanyaa, ”Mengapa kamu katakan seperti itu?” Wanita itu menjawab, ”Ia memintaku bersumpah, dan aku tidak mau berbohong.”

Maka Umar pun berkata, ”Baiklah. Hendaklah salah seorang di antara kalian bias berbohong dan berbasa basi. Tidak setiap rumah tangga itu dibangun atas dasar pondasi cinta, akan tetapi bisa jadi ia tegak karena pergaulan atas dasar keturunan dan Islam.”
Yang dimaksudkan oleh Umar adalah, hendaklah seorang isteri bisa berbasa-basi kepada suaminya dalam berkata-kata, dan hendaklah ia mengatakan, ”Aku mencintaimu.” Sekalipun sebenarnya ia tidak mencintainya. Tapi, ini adalah sebagian dari bentuk kepantasan berbasa-basi saja. Boleh jadi pikiran itu akan berubah di kemudian hari.

Demikian halnya dengan seorang suami. Hendaklah ia mengatakan, ”Aku mencintaimu,” sekalipun sebenarnya ketika itu ia tidak mencintainya. Mudah-mudahan Allah akan menjadikan cinta sesudah itu. Seringkali perilaku seorang wanita iitu berubah menjadi baik dan kemudian bertambahlah kecintaan di antara keduanya. Maha Suci Allah, Dzat yang berkuasa untuk membolak-balikkan hati.

Sesungguhnya, berbasa basi, atau berbohong dalam pembicaraan suami isteri yang ditujukan untuk kemaslahatan, adalah sesuatu yang diperbolehkan. Diriwayatkan dari Ummu Kultsum binti ‘Uqbah, bahwa ia berkata, ”Aku tidak pernah mendengar Rasulullah SAW memberikan keringanan mengenai sesuatu pun untuk berdusta, kecuali dalam tiga perkara. Yaitu seseorang berbohong dengan maksud mendamaikan (dua pihak yang berselisih), seseorang yang berbohong dalam perang, dan seorang suami yang berbicara (berbohong) kepada isterinya atau seorang isteri yang berkata bohong kepada suaminya” (Riwayat Muslim). Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Fatawa Vol V/No. 02/Shafar 1430 : Pebruari 2009. Hal 42-43.

Sunday, March 8, 2009

Gambar Masjid Al Aqsa di Botol Minuman Keras


Kebijakan pembangunan distrik pemukiman Zionis di Baitul Maqdis dan perusakan komplek suci Masjid al Aqsa telah mendorong Rezim Zionis Israel untuk mengawali serangan barunya ke tempat-tempat yang disucikan oleh umat bergama.

Berdasarkan hal itu, sebuah perusahaan minuman keras milik Rezim Zionis Israel mencetak gambar-gambar Masjid al Aqsa dan Masjid Qubba al Sakhrah di botol minuman keras yang mereka produksi. Kebijakan provokatif itu dilakukan tanpa memperhatikan sentimen umat Islam di seluruh dunia.

Mereaksi tindakan pelecehan terhadap tempat suci yang dilakukan perusahaan minuman keras Israel, Lembaga Pemeliharaan dan Perawatan Tempat-Tempat Suci al-Aqsa menilai pemuatan gambar-gambar tempat suci umat Islam di botol minuman keras sebagai penghinaan nyata terhadap sentimen umat Islam dan juga pelecehan terhadap nilai-nilai yang disakralkan oleh mereka. Lembaga tersebut selain memperingatkan Rezim Zionis Israel, juga meminta dunia Islam untuk mengambil langkah praktis guna mencegah aksi pelecehan itu.

Pasca menguasai Baitul Maqdis, Rezim Zionis Israel terus menerapkan kebijakan yang bersifat merusak, menyita, membangun distrik pemukiman Zionis, dan mengusir warga Palestina yang tinggal di Baitul Maqdis Timur. Menyikapi kebijakan destruktif Israel, Kantor Asosiasi Wartawan Arab mengutuk keras skenario Rezim Zionis Israel untuk mengubah struktur geografi dan demografi Baitul Maqdis.

Sekjen Asosiasi Wartawan Arab, Mukarram Muhammad Ahmad mengatakan, masyarakat internasional harus mencegah aksi brutal Israel yang menghancurkan rumah warga Palestina, merampas perkebunan mereka, dan membangun distrik pemukiman Zionis di atas tanah rampasan tersebut.

Muhammad Ahmad juga mengkonfirmasikan upaya Rezim Zionis Israel selama bertahun-tahun untuk mengubah kondisi demografi di Baitul Maqdis. Untuk memuluskan proyek ilegalnya, Israel mulai membangun distrik pemukiman Zionis dan tembok pembatas guna menghubungkan distrik-distrik Zionis yang terletak berjauhan.

Tembok itu juga telah memisahkan sejumlah besar kawasan Palestina di Baitul Maqis. Baru-baru ini, Pejabat Tel Aviv juga telah mengeluarkan perintah penggalian baru di sisi tembok Selatan dan dan tembok Barat Daya Masjid al Aqsa. Penggalian itu mengancam runtuhnya infrastruktur tempat suci tersebut.

Menanggapi hal itu, Badan Wakaf dan Warisan al-Aqsa dalam laporannya, mengkonfirmasikan keputusan Israel untuk menggali terowongan di Baitul Maqdis dengan tujuan menghubungkan kawasan al-Sharaf dengan daerah di Barat Masjid al Aqsa.

Laporan itu disusun berdasarkan data-data yang diperoleh dari Israel. Sejak dulu, pejabat Tel Aviv berniat membangun terowongan di bawah Masjid al Aqsa yang dapat dilintasi oleh warga Zionis dan wisatawan asing. Warga Pelestina menilai langkah itu sebagai upaya Yahudi untuk menguasai Masjid al Aqsa. Mereka juga meminta umat Islam di dunia untuk segera bertindak terlebih menyangkut aksi pelecehan yang mencetak gambar-gambar tempat suci umat Islam di botol minuman keras.Irb/sbl

Sumber: Sabili

BreadTalk, Bintang Zero, dan Hoka Hoka Bento, TIDAK HALAL?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan tiga produk makanan dan minuman yang selama ini berada di tengah-tengah masyarakat tidak halal. Ketiga produk itu adalah Breadtalk, Bintang Zero, dan Hoka Hoka Bento.

Hal ini disampaikan Sekjen MUI Din Syamsuddin yang didampingi Ketua LPPOM (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Obat-obatan/kosmetik dan Makanan) MUI Aisyah Girindra dalam jumpa pers di kantor MUI di kompleks Masjid Istiqlal, Jl. Wijaya Kusuma, Jakarta Pusat, Selasa (8/3/2005).

Menurut Din, Breadtalk dinyatakan tidak halal, karena sampai sekarang belum mendapatkan sertifikasi halal dari MUI. “”Mui menyatakan belum ada status halal terhadap produk Breadtalk,” kata Din.

Hal yang sama juga berlaku dengan Hoka Hoka Bento. “Produk Hoka Hoka Bento tidaklah halal, karena belum mendapatkan sertifikat halal. Yang demikian itu masuk ke dalam syubhat,” ujar Din.

Sedangkan untuk produk Bintang Zero yang dalam iklannya menyebutkan mengandung 0% alkohol, Din menegaskan bahwa produk itu haram. “Bintang Zero 0 % alhokol, menurut LP POM MUI tidaklah halal. Bahkan, setelah diteliti, barang itu tetap mengandung khamar. Jadi, dengan sendirinya tetap dintyatakan haramm,” kata Din.

Din menyesalkan perusahaan produsen Bintang Zero yang melakukan trik-trik iklan yang dilakukannya dengan mengatakan mengandung 0% alkohol. “Ini ada trik-trik iklan untuk pembentukan opini masyarakat. Karena itu, MUI merasa bertanggung jawab dan dengan ini menyatakan bahwa produk Zero Bintang itu adalah haram,” tegasnya.

Selanjutnya, Din mengimbau kepada umat muslim agar bersikap kritis dan jeli dalam mengkonsumsi produk makanan yang belum jelas kehalalannya. “Ini kita imbau agar masyarakat tidak terjebak terhadap upaya manipulasi,” ujarnya.

Din menyadari selama ini sosialisi dari MUI untuk membangkitkan daya kritis masyarakat dalam mengkonsumsi produk-produk makanan memang kurang maksimal. “Karena itu, dalam waktu dekat, rencananya setiap satu bulan sekali, MUI akan melakukan sosialisasi untuk menyadarkan masyarakat dalam memilih produk-produk yang belum jelas kehalalannya,” kata Din.

Sementara Aisyah Girindra meminta kepada semua perusahaan yang memegang sertifikasi halal MUI untuk menuliskan nomor sertifikat halal dalam label kemasan. Hal ini untuk mengantisipasi adanya praktek manipulasi dari perusahaan makanan yang mengklaim secara sepihak bahwa produknya halal.

“Dengan demikian, nantinya dapat dibedakan antara label halal yang memiliki sertifikat MUI dan label halal tanpa sertifikat MUI,” demikian Aisyah.

Sumber: Arsip Moslem

Tersenyumlah …

Tertawa sewajarnya merupakan obat kecemasan dan pelipur kesedihan. Dalam senyum terdapat kekuatan yang menakjubkan dalam menggembirakan jiwa dan menyenangkan hati, sehingga Abu darda berkata: “Sesungguhnya aku akan tertawa hingga hatiku akan terhibur.” Tertawa merupakan puncak keceriaan, kelegaan dan keriangan, asalkan tidak berlebihan, dengan sewajarnya, dan tidak di maksudkan mengejek atau mencemooh: “Jangan terlalu banyak tertawa, karena terlalu banyak tertawa akan mematikan hati.”

Hakikatnya, Islam adalah agama yang dibangun atas dasar keseimbangan dan keadilan, baik dalam hal akidah, ibadah, akhlak, maupun tingkah laku. Oleh karena itu, janganlah anda masamkan raut muka anda sehingga menakutkan orang yang melihat. Jangan pula anda tertawa terbahak – bahak. Akan tetapi, tampilkanlah wajah yang tenang, selalu berseri dan enak dipandang, sehingga menyenangkan orang yang memandang.

Kalau kita diminta memilih antara harta yang banyak atau jabatan terhormat dan jiwa yang tenang penuh keceriaan, tentu anda akan memilih yang kedua. Apa artinya harta jika jiwa penuh kemuraman? Apa artinya pangkat dan jabatan jika jiwa terkekang? Apa artinya kecantikan istri bila ia selalu cemberut dan menjadikan suasana rumah seperti neraka? Sungguh lebih baik seribu kali lipat istri yang tidak terlalu cantik tetapi mampu menciptakan suasana rumah seperti surga.

Senyum yang tampak secara lahir tidak akan bernilai bila muncul dengan pura – pura dan untuk menutupi seseorang yang berperangai menyimpang. Lihatlah bunga juga tersenyum; hutan tersenyum; dan lautan, sungai, langit, bintang, burung, semuanya tersenyum. Senyum mereka itulah senyum yang tulus.

Jiwa yang senantiasa tersenyum akan melihat kesulitan dengan nyaman sambil berusaha mengatasinya. Jika mereka melihat sebuah persoalan, mereka tersenyum dan tetap tersenyum ketika mampu mengatasinya. Sebaliknya, jiwa yang muram akan akan melihat kesulitan dengan kesedihan. Bila menemui kesulitan, ia akan meghindar atau membesar-besarkannya, semangatnya melemah dan berandai andai dengan kata-kata “kalau”, “bila”, dan “jika”.

Betapa kita amat membutuhkan senyuman, keceriaan wajah, kelapangan dada, kemrahan hati, kelemahlembutan, dan keramahan. “Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mewahyukan kepadaku (Rasululloh Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam) agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak ada seorang pun yang berbuat zhalim terhadap orang lain.”

Disalin dari: Buletin Islam, Arsip Moslem Blogs dan sumber artikel dari Media Muslim Info

Saturday, March 7, 2009

Sejarah Nabi Isa Al-Masih A.s.

Saya pernah baca di internet bahwa Nabi Isa As tidak mati di salib (Menurut kristen) atau telah diangkat ke langit (Menurut Islam) tapi diselamatkan oleh muridnya karena pada saat di salib Nabi Isa As belum mati. Kemudian Nabi Isa mengembara dan akhirnya meninggal di Kashmir, mohon penjelasannya apakah ini semacam doktrin dari penganut ahmadiyah. Terima Kasih.

Usep Indra Haruman

JAWABAN

Allah swt membicarakan tentang kisah berakhirnya Nabi Isa as bersama kaumnya didalam tiga surat, yaitu :

إِذْ قَالَ اللّهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِينَ كَفَرُواْ وَجَاعِلُ الَّذِينَ اتَّبَعُوكَ فَوْقَ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Artinya : “(ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai Isa, Sesungguhnya aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari ". (QS. Al Imran 55)

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِن شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُواْ فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِّنْهُ مَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا ﴿١٥٧﴾
(بَل رَّفَعَهُ اللّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا ﴿١٥٨

Artinya : “dan karena Ucapan mereka: "Sesungguhnya Kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa : 157 – 158)

فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنتَ أَنتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Artinya : “Maka setelah Engkau wafatkan Aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. dan Engkau adalah Maha menyaksikan atas segala sesuatu.” (QS. Al Maidah : 116 – 117)

Kata-kata "إنى متوفيك"didalam surat Ali Imram dan kata-kata "فلما توفيتنى" didalam surat Al Maidah memberikan pengertian bahwa Nabi isa as telah mati dikarenakan kata tawaffa terdapat didalam Al Qur’an berarti mati sehingga makna inilah yang dipakai didalam ungkapan tentangnya, sebagaimana kata tawaffaitu didalam makna bahasanya berarti menggenggam dan mengambil. Dengan demikian makna "إنى متوفيك" dan
"فلما توفيتنى" berarti “Sesungguhnya aku menggenggammu dari bumi”, sebagaimana dikatakan,”tawaffaitu min fulan maalii alaihi” artinya aku telah memegangnya. Kemudian yatawaffa juga berarti tidur, sebagaimana firman Allah swt didalam surat al An’am :

وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُم بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُم بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيهِ لِيُقْضَى أَجَلٌ مُّسَمًّى ثُمَّ إِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Artinya : “dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Al An’am : 60)

Di dalam ayat itu yatawaffa bermakna tidur, sebagaimana penggunaan kata yab’atsu untuk kebangkitan di kehidupan lain setelah kematian di dunia, artinya dibangunkan dari tidur karena itu kemungkinan yang dimaksud dengan kata إنى متوفيك dan فلما توفيتنى bisa berarti tidur sebagai pengganti dari kematian sebagaimana disebutkan diatas.

Adapun ta’wil dari kata ورافعك إلى didalam surat Ali Imran dan يل رفعه الله إليه didalam surat An Nisaa telah ditafsirkan oleh para ahli tafsir bahwa Allah swt mengangkat Isa as ke langit sedangkan kata terkahir يل رفعه الله إليه adalah sebagai informasi tentang kenyataan apa yang dijanjikan Allah kepadanya didalam surat Ali Imran didalam perkataannya إنى متوفيك ورافعك إلى

Didalam Al Qur’an kata raf’u (mengangkat) digunakan untuk sesuatu yang bersifat fisik dan juga non fisik (maknawi). Apabila kata yang dimaksudkan itu adalah pengangkatan yang bersifat fisik maka ini bisa diterima dikarenakan diselamatkannya Isa as dari musuh-musuhnya adalah penyelamatan terhadap ruh dan jasadnya. Dengan demikian pengangkatan yang bersifat fisik yaitu kematian dalam arti sebenarnya atau dalam arti tidur lebih didahulukan dikarenakan pengangkatannya dalam keadaan hidup seperti kehidupan pada umumnya di dunia adalah suatu siksaan baginya, sebagaimana ditunjukkan oleh kenyataan ilmiah bahwa manusia semakin naik ke langit maka ia akan semakin merasa sesak di dadanya dikarenakan sedikitnya oksigen di udara dan juga sebagai pembuktian dari kebenaran firman Allah swt :

يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاء

Artinya : “Niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit.” (QS. Al An’am : 125)

Dari penuturan itu semua menunjukkan bahwa Allah swt telah mengangkat Isa as dan menyelamatkannya dari pembunuhan dan penyaliban yaitu dengan mewafatkannya bisa jadi dengan kematian yang sebenarnya ataupun secara hukum yaitu tidur demi membebaskan dan menyelamatkannya dari penyiksaan yang dialami tubuhnya apabila diangkat dari dunia ke langit masih dalam keadaan hidup seperti kehidupan pada umumnya di dunia atau Nabi Isa saw diangkat dalam keadaan hidup dan masih tetap hidup meskipun tidak diketahui bagaimana keadaannya. (Buhuts wa Fatawa Islamiyah juz IV hal 645 – 646)

Jadi seandainya ada yang mengatakan bahwa Nabi Isa as diangkat Allah swt dari dunia ke langit dalam keadaan mati maka hal ini pun dimungkinkan sebagaimana makna dari kata إنى متوفيك didalam surat Ali Imran dan فلما توفيتنى didalam surat Al Maidah diatas. Adapun apabila ada yang mengatakan bahwa Nabi Isa melakukan da’wahnya di Kashmir atau India kemudian meninggal di sana maka tidak ada dalil-dalil yang membuktikan dan membenarkannya dan ada kemungkinan keyakinan ini sengaja disebarkan sebagai alat propaganda orang-orang Nasrani dalam menjalankan praktek-praktek kristenisasinya.

Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.

Thursday, February 26, 2009

Dukun, Tukang Ramal Dan Sejenisnya

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shohehnya, dari salah seorang isteri Nabi s.a.w., bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda:
" Barang siapa yang mendatangi peramal dan menanyakan kepadanya tentang sesuatu perkara dan dia mempercayainya, maka sholatnya tidak diterima selama 40 hari". Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barang siapa yang mendatangi seorang dukun, dan mempercayai apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) terhadap wahyu yang telah diturunkan kepada Muhammad s.a.w." (HR. Abu Daud). Dan diriwayatkan oleh empat periwayat<1> dan Al Hakim dengan menyatakan: "Hadis ini sahih menurut kriteria Imam Bukhori dan Muslim" dari Abu Hurairah r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barang siapa yang mendatangi peramal atau dukun, lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka sesunggunya ia telah kafir terhadap wahyu yang telah diturunkan kepada Muhammad s.a.w.". Abu Ya'la pun meriwayatkan hadis mauquf dari Ibnu Mas''ud seperti yang tersebut di atas, dengan sanad Jayyid. Al Bazzar dengan sanad Jayyid meriwayatkan hadis marfu'' dari Imran bin Husain, bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidak termasuk golongan kami orang yang meminta dan melakukan Tathoyyur, meramal atau minta diramal, menyihir atau minta disihirkan, dan barang siapa yang mendatangi dukun lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap wahyu yang telah diturunkan kepada Muhammad s.a.w." Hadis ini diriwayatkan pula oleh At Thabrani dalam Mu''jam Al Ausath dengan sanad hasan dari Ibnu Abbas tanpa menyebutkan kalimat: "dan barang siapa mendatangi …"dst. Imam Al Baghowi<2> berkata: "Al Arraf (peramal) adalah orang yang mendakwahkan dirinya mengetahui banyak hal dengan menggunakan isyarat isyarat yang dipergunakan untuk mengetahui barang curian atau tempat barang yang hilang dan semacamnya. Ada pula yang mengatakan: ia adalah Al Kahin (dukun) iaitu: orang yang boleh memberitahukan tentang hal-hal yang ghoib yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Dan ada pula yang mengatakan: ia adalah orang yang boleh memberitahukan tentang apa apa yang ada dihati seseorang". Menurut Abul Abbas Ibnu Taimiyah: "Al Arraf adalah sebutan untuk dukun, ahli nujum, peramal nasib dan sejenisnya yang mendakwahkan dirinya boleh mengetahui hal hal ghaib dengan cara-cara tersebut." Ibnu Abbas berkata tentang orang-orang yang menulis huruf huruf sambil mencari rahasia huruf, dan memperhatikan bintang bintang: "Aku tidak tahu apakah orang yang melakukan hal itu akan memperoleh bahagian keuntungan di sisi Allah". Kandungan bab ini:
Tidak dapat bertemu dalam diri seorang mukmin antara iman kepada Al Qur'an dengan percaya kepada tukang ramal, dukun dan sejenisnya.

Pernyataan Rasul s.a.w. bahawa mempercayai ucapan dukun adalah kufur.
1. Ancaman bagi orang yang minta diramalkan.
2. Ancaman bagi orang yang minta di tathoyyur kan.
3. Ancaman bagi orang yang minta disihirkan.
4. Ancaman bagi orang yang menulis huruf huruf .
5. Perbedaan antara Kahin dan Arraf.
_____________________________________
Catatan Kaki:
<1> Yakni : Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai'' dan Ibnu Majah.
<2> Abu Muhammad Al Husain bin Mas''ud bin Muhammad Al Farra'', atau Ibn Farra'' Al- Baghawi. Diberi gelar Muhyi - s - Sunnah. Kitab kitab yang disusunnya antara lain : syarh as sunnah, al jami'' baina asahun 436 H (1044 M), dan meninggal tahun 510 H (1117 M)
sumber: http://id.shvoong.com/humanities/1640383-dukun-tukang-ramal-dan-sejenisnya/