Monday, March 9, 2009

MENGAPA HARUS MAULIDAN? (BAGIAN I)

Rasulullah SAW tidak pernah berwasiat agar hari kelahirannya diperingati, meski di zamannya peringatan ulang tahun maulid (hari kelahiran) sudah dikenal. Saat itu kalangan Nasrani sudah akrab dengan adanya Natal, yang dianggap sebagai peringatan hari kelahiran Nabi Isa al-Masih AS. Natal sendiri merupakan adopsi budaya paganis (musyrikin) yang biasa dirayakan masyarakat Yunani maupun Romawi, yang mempunyai tradisi memperingati hari kelahiran dewa-dewa mereka. Hingga kemudian sekelompok mempunyai ide untuk melakukan hal sama bagi Rasulullah SAW. Bagaimana dengan Maulid Nabi Muhammad SAW?

SEJARAH MUNCULNYA PERAYAAN MAULID

Secara bahasa sebenarnya arti Natal dan Maulid tidaklah berbeda. Natal sendiri dimulai tahu 355M yang dipelopori oleh Liberius, seorang Bishop Katolik, yang mengadopsi hari kelahiran Dewa Matahari milik Romawi. Sehingga kata Al-Sakhawi, ”Apabila orang-orang salib/Kristen menjadikan hari kelahiran Nabi mereka sebagai hari raya, maka orang Islam pun lebih dari itu.” [Al-Tibr al-Masbuk fi Dzaili al-Suluk oleh Imam Al-Sakhawi] Dari perkataan Al-Sakhawi dapat diambil simpulan bahwa di antara yang dijadikan dasar perayaan maulid Nabi adalah meniru (tasyabuh) kaum Nasrani, sementara hal ini termasuk perbuatan dilarang. Alhasil, kenyataan bahwa tradisi memperingati hari kelahiran adalah budaya primitive dinamisme tidak bisa ditampik.

Orang yang pertama kali mengadakan perayaan Maulid Rasulullah SAW adalah Bani Ubaid, yang dipandegani al-Mahdi Abu Muhammad Ubaidillah bin Maimun al-Qaddah. Sejak tahun 317H di Maroko. Kelompok ini dikenal sebagai Qaramithah, salah satu aliran Syi’ah ekstrim. Ibu Khaliqan berkata tentang nasab Ubaidillah, ”Semua ulama sepakat mengingkari silsilah nasab keturunannya dan bahwa semua yang menisbatkan dirinya kepada Fatimiyyun adalah pendusta! Mereka tak lebih turunan Yahudi dari Silmiyah negeri Syam dari keturunan al-Qaddah. Ubaidillah menginggal tahun 322H, hingga keturunannya al-Mu’iz Lidinillah, berkuasa di Mesir. Kekuasaan Ubaidiyyun atau Fatimiyyun ini bertahan hingga 2 abad lamanya sehingga mereka dibinasakan oleh Shalahuddin al-Ayubi pada tahun 546H.”

Ahmad bi Ali al-Miqrizi, seorang pakar sejarah, menyebutkan, ”Para khalifah Fatimiyyah mempunyai berbagai perayaan setiap tahunnya. Ada perayaan tahun baru, hari Asyura’, Maulid Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fathimah al-Zahra, dan maulid Khalifah. Ada juga yang lain seperti perayaan awal bulan Rajab, awal Sya’ban, Nisfu Sya’ban, awal Ramadhan, pertengahan Ramadhan, dan penutupan Ramadhan…” [Al-Mawai’dz wal I’tibar bidzikril Khuthati wal Atsar I/490]

Kerajaan Ubaidiyun sendiri berdiri mulai 297H/909M, dengan ibu kotanya Qairawan, Maroko. Setelah kekuasaan Fathimiyun tamat, yang pertama kali merayakan hari ulang tahun nabi adalah Raja Mudhafir Abu Sa’ad Kaukaburi pada awal abad ke 7 Hijriyah. Sebagaimana diungkap oleh Imam Ibnu Katsir, ”Dia merayakan Maulid Nabi di bulan Rabi’ul Awal dengan amat meriah. Al-Sibt berkata, ‘Sebagian yang hadir menceritakan bahwa disiapkan hidangan raja Mudhafir berupa 5.000 daging panggan, 10.000 daging ayam, 10.000 gelas susu, dan 30.000 piring makanan ringan…”

Ibni katsir melanjutkan, ”Perayaan tersebut dihadiri tokoh-tokoh agama dan orang-orang Sufi. Sang raja pun menjamu mereka. Bahkan orang-orang Sufi punya acara khusus, yaitu bernyanyi dar waktu Dzuhur hingga fajar. Raja pun turut berjoget.” [Al-Bidayah wa al-Nihayah, XIII/137]

Ibnu Khaliqan berkata, “Bila tiba awal bulan Shafar, mereka menghiasi tenda besar dengan aneka hiasan yang indah dan mewah. Pada setiap tenda tersebut ada sekumpulan penyanyi, ahli penunggang kuda, dan pelawak. Hari itu adalah libur kerja karena ingin bersenang-senang di tenda tersebut bersama para penyanyi… Bila maulid kurang dua hari, raja mengeluarkan unta, sapi, dan kambing yang tak terhitung jumlahnya, diiringi suara terompet dan nyanyian sampai tiba di lapangan… pada malam maulid, raja mengadakan nyanyian setelah shalat Maghrib di benteng” [Wafayatul A’yan, IV/117-118]

Begitulah asal muasal terjadinya perayaan Maulid Nabi, yang kini menjadi menu wajib tahunan. Sebagian orang seakan tabu meninggalkannya, karena menganggapnya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan ada yang menuduh pihak yang tidak mau merayakan maulid nabi berarti tidak mencintai Rasulullah SAW, malah mau memberangus jasa dan perjuangan beliau!

MAULID SEBAGAI BUKTI CINTA PADA RASULULLAH SAW

Ini adalah kalimat yang sering disampaikan oleh para penggemar perayaan maulid nabi. Memang mencintai Rasulullah SAW adalah kewajiban, sebagai salah satu tuntutan dari rukun Islam yang pertama. Rasa cinta kepada beliau bahkan harus melebihi rasa cinta kepada ayah, anak, dan semua manusia. Beliau bersabda, “Tidak sempurnya keimanan seseorang dari kalian sehingga aku lebih dia cintai daripada ayah, anak, dan semua manusia.” [Shahih al-Bukhari No. 15]

Tetapi mencintai beliau tidak berarti lantas bisa diungkapkan lewat amalan yang tidak jelas juntrung-nya, seperti perayaan maulid Nabi. Konsekuensi cinta kepada Rasulullah adalah dengan patuh dan taat kepadanya, membela kehormatannya, mengikuti dan menghidupkan sunnah-sunnahnya serta menjauhi dan meninggalkan semua larangannya baik dalam perkara maupun perbuatan.

Para sahabat yang dekat –Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali – beserta seluruh keluarga dan anak turunannya, belum pernah ada yang mencoba memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW, padahal kebiasaan perayaan hari kelahiran sudah dikenal waktu itu. Mereka adalah orang yang paling bertakwa setelah Rasulullah SAW, paling taat pada Rasulullah SAW, paling menghormati, paling mencintai beliau, dan sosok yang haus dengan amal kebaikan. Begitu pula generasi tabi’in dan tabi’ tabi’in, termasuk imam madzhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Tidak ada bukti secuil pun mereka merayakan kelahiran manusia yang paling mereka cintai. Apakah para penggemar maulid akan merasa lebih mencintai Rasulullah SAW dibanding mereka?
Bersambung......

0 comments: